Belakangan, sampai juga ke kupingku. Tentang dia yang mengganggu mata dan otakku itu. Dia datang dari jauh. Tepat di seberang pulau ini. Celebes dulu orang sebut. Sebuah pulau dimana besi begitu dihormati, begitu paman pernah bilang.
Dia siswa baru di sekolah kami. Satu tingkat denganku. Pastinya, aku lebih bodoh darinya. Itu adalah kenyataan, mungkin juga takdirku untuk selamanya. Tak apalah aku terima saja dia lebih pintar dariku. Tidak ada yang salah jika wanita jauh lebih pintar daripada pria. Bagaimanapun juga, pria sejak puluhan abad silam lebih bisa berkuasa, juga mendorong wanita urus dapur.
Dari sumber terpercaya, kuketahui dia yang mengganggu mata dan pikiranku itu anak pegawai BPM dulunya. Itu tidak terlalu penting bagiku. Senyum dan matanya adalah segalanya bagiku. Ya. Mata dan senyumnya selalu menari di kepalaku, setiap hari. Yang selalu rasuki hariku dan merusak tidurku yang biasanya lelap.
Aku selalu bersepeda tiap sore. Itu setelah aku membaca buku dan tak sengaja terlelap dibawah pohon dekat bunker Jepang dekat Melawai. Aku baru terbangun ketika sore datang. Setelah itu bersepeda ke Jalan Sekolah. Mengitari lapangan kota. Itu yang kulakukan sepulang sekolah.
Aku biasa melihatnya jalan kaki. Bersama adiknya yang lucu dan menggemaskan. Mereka jelas tak sadari kehadiranku. Semoga tidak. Kepengecutanku, membuatku hanya melihatnya dari kejauhan. Terbesit keinginan untuk mendatanginya dan bergabung. Tapi, aku takut kedatanganku merusak semuanya. Juga merusak senyumnya sore itu. Menatapnya dai jauh jelas lebih indah.